Takdir membawa saya menjadi petugas sensus, meskipun sungguh, seumur hidup saya tidak pernah bercita-cita menjadi petugas sensus. Begitulah, menguatkan pembuktian bagi saya, bahwa bagaimanapun manusia hanya bisa berencana, Ia jugalah yang akan menentukan bagaimana jadinya.
Kali ini, kawan... Saya berhutang janji. Janji kepada seorang kawan, yang meminta saya menuliskan pengalaman sebagai petugas sensus. Tahun ini, sejak sensus pertama saya, adalah tahun ke-10 di dunia sensus dan survey. Namun, kali ini saya hanya akan membagi kisah sensus pertama saya. Semoga kawan berkenan membacanya. Tahun 2000. Status sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, yang merupakan sekolah kedinasan di bawah Badan Pusat Statistik, memberikan kami kesempatan untuk terjun langsung dalam kegiatan pendataan penduduk akbar ketika itu, SP2000, nama kegiatannya. Saat itu, saya bertugas sebagai petugas pencacah lapangan (PCL - istilah resmi yang biasa digunakan oleh BPS) di salah satu Kelurahan di Jakarta Selatan. Hari-hari yang melelahkan, namun banyak memberikan pengalaman yang bermanfaat untuk kegiatan sensus dan survey saya di masa yang akan datang. (status saya yang kemudian beralih menjadi PNS di BPS membuat julukan 'Petugas Sensus' makin melekat, =D) Setelah melewati serangkaian pelatihan, semua petugas yang dilibatkan dalam sensus dan survey yang dilakukan BPS dilatih terlebih dahulu untuk pemahaman konsep dan definisi, tujuan survey, serta role playing agar tidak kaku ketika sudah melaksanakan tugas di lapangan. Mulailah hari-hari saya sebagai petugas sensus... 1. Me and my uniform... Ketika masih kecil, saya diajarkan untuk 'bertanyalah kepada orang yang berseragam'. Entah mengapa petuah ini disampaikan. Namun begitulah. Takdir membawa saya untuk tidak pernah lepas dari seragam. Sekolah, kuliah, bahkan hingga bekerja pun saya menggunakan seragam. Seragam saya di kala itu berwarna krem, dengan rok berwarna coklat muda. Seperti juga sekolah kedinasan lainnya, saya juga mengenakan atribut seperti pangkat, papan nama, dan atribut lainnya. Berbeda dari SP2010, ketika SP2000 petugasnya tidak diberikan seragam. Namun, bekal 'petuah' masa kecil itu membuat saya berinisiatif menggunakan seragam kuliah dalam melaksanakan SP2000. Kejadian paling lucu dari penggunaan seragam ini adalah ketika saya berada di tengah perumahan kumuh. Saat itu hari belumlah siang benar, sebagian warga masih asyik dengan aktifitasnya masing-masing. Termasuk sekelompok bapak-bapak yang saya perhatikan sedang bermain judi. Walau dari jarak sekitar 50 meter, saya sudah bisa memperhatikannya dengan melihat tumpukan uang yang ada di meja. Begitu melihat saya yang berseragam (walau sekarang ini saya pikir-pikir saya kok nekat sekali, datang ke tempat-tempat seperti itu sendirian tanpa kawalan RT, hanya bermodalkan seragam!), hanya dalam hitungan detik meja tadi sirna dari pandangan saya. =D Diiringi sikap kikuk bapak-bapak tadi, yang beberapa diantaranya juga dalam hitungan detik menghilang dari pandangan saya. Hanya yang kurang beruntung saja yang terjebak dan tidak bisa pergi karena sudah terlanjur saya sapa. Dan kalimat sakti saya ucapkan, "Maaf Bapak, Ibu. Selamat siang. Saya petugas sensus dari Badan Pusat Statistik. Saya akan melakukan pendataan terhadap keluarga Bapak/Ibu. Ini surat ijin dari RT, juga telah diketahui oleh RW dan Kelurahan. Boleh saya minta waktunya sebentar?" Diiringi bisik-bisik tetangga sekitar, dan pandangan penuh tanda tanya, saya lanjutkan, "Ini gratis kok Bapak/Ibu. Dan informasi yang diperoleh bersifat rahasia --sambil menunjukkan kata-kata RAHASIA di ujung formulir sensus--". Maka satu persatu bapak-bapak yang menghilang tadi dengan segera sudah dapat saya temui lagi. Dengan polosnya salah seorang bapak berkata, "Maaf, mbak. Tadi saya pikir polisi..." Sungguh saya tak dapat menahan senyum. Semua yang mengenal saya tentu akan sepakat bahwa saya tidak akan masuk test kepolisian, mengingat tinggi yang tidak seberapa. =D Namun jawaban saya kala itu, "Terus... Kalau saya bukan polisi, Bapak akan meneruskan kegiatan Bapak tadi?" yang dijawab senyum kecut si Bapak. Dan kemudian saya pun beranjak dari tempat itu, diiringi langkah-langkah kaki anak-anak kecil yang berkata, "Mbak sensus... Mbak sensus... Rumah saya kapan didatangi?" 2. Mbak atau Mas? Masih di lokasi yang sama, seorang ibu memperingatkan saya, "Mbak... hati-hati. Yang tinggal disitu seorang waria..." Pada waktu itu, seumur hidup saya, baru sekali itulah saya berinteraksi secara langsung dengan seorang waria. Setelah berkali-kali mengetuk pintu sambil mengucap salam, dan tidak ada jawaban, saya beranjak pergi. Namun, dari kejauhan ada yang menghampiri saya. Seorang laki-laki muda mengenakan celana pendek, tanpa baju, dengan lilitan handuk di kepalanya. Sepertinya dia baru saja selesai mandi di tepi sungai sana, karena dia berjalan dari arah jembatan. Ketika saya menyapanya, "Maaf, Mas. Minta waktunya sebentar..." Dengan gusar dia menjawab, "Mas... Mas... Ngga bisa lihat ya? Mbak!" Tentu saja saya kaget. Penglihatan sayalah yang menyimpulkan saya memanggilnya Mas. Konsep jenis kelamin di dalam pertanyaan SP2000 (dan survey lainnya di BPS) hanya menyediakan dua kemungkinan jenis kelamin, yaitu Laki-laki dan Perempuan. Baru pada tahun 2009, ketika mendapat kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan survey yang respondennya adalah waria, dan saya berkesempatan mewawancarai salah seorang ketua kelompok waria, saya memberanikan diri menanyakan kepadanya, seperti apa saya harus menyapanya. Mengingat pengalaman kurang mengenakkan pada sensus pertama itu. "Mbak... (ya, saya memanggilnya Mbak. Walaupun secara hukum dia belum menjadi wanita. Untuk menjaga komunikasi di antara kami). Saya minta maaf sebelumnya. Tadi kita sudah berdiskusi bahwa secara fisik Mbak masih pria. Maka, bukan tidak menghormati Mbak, tapi di kuisioner ini saya harus mengisikan jenis kelamin Mbak adalah Laki-laki." Syukurlah dia tersenyum, menandakan ia tidak keberatan. "Boleh saya bertanya?" Lanjut saya. Lalu saya menceritakan kisah saya itu... Dan jawabannya adalah... "Kalau bingung, atau takut canggung, panggil saja Kakak..." ujarnya tersenyum, "Beberapa di antara kami memang beranggapan bahwa kami memang betul-betul perempuan, hanya berada dalam fisik laki-laki." Namun saya memutuskan sampai akhir wawancara tetap memanggilnya Mbak. 3. Copet itu masuk pekerjaan apa? Salah satu jenis pertanyaan dalam kuisioner SP2000 adalah pertanyaan tentang pekerjaan. Seperti biasa, prosedurnya adalah, mengucapkan salam, menyampaikan tujuan kedatangan, memperlihatkan ijin dari RT/RW setempat, dan menerangkan bahwa segala informasi yang diberikan bersifat rahasia. Dan hanya akan digunakan untuk kepentingan pendataan penduduk. Tibalah saya di rumah kontrakan. Sepertinya kamar berukuran 3x3 m ini disewa oleh banyak orang. Informasi dari salah seorang anggota rumah tangganya, kamar ini ditempati oleh 8 orang. Empat di antaranya bekerja dari malam sampai siang, dan empat lainnya dari siang sampai malam. Jadi, mereka menggunakan kamar ini bergantian. Empat yang bekerja di malam hari itu adalah pedagang di salah satu pasar yang cukup besar di dekat situ. Dua dari yang bekerja di siang hari bekerja sebagai juru parkir. Yang satu orang bekerja sebagai supir metromini. Dan lelaki di hadapan saya? Jawaban dari item pertanyaan pekerjaan adalah... "Copet..." Jawabnya santai. Saya memandangnya heran, dengan tangan refleks meraih tas untuk memastikan tas dan segala isinya berada di tempatnya. "Tadi mbak bilang ini rahasia kan?" lanjutnya lagi. Saya mengangguk. Sambil bingung, tentu saja. Menghargai kejujurannya, namun juga tidak mengerti, termasuk kategori lapangan pekerjaan apakah copet itu? 4. Rahasia? Rahasia. Tiba-tiba kalimat ini membuat saya pusing kepala. Dalam waktu kurang dari sebulan sudah banyak 'rahasia' yang harus saya pegang. Seperti tanpa sengaja saya jadi mengetahui 'urusan rumah tangga' orang lain. Seringkali responden sendiri yang bercerita, tanpa diminta. Seperti yang satu ini... Bersamaan dengan SP2000, waktu itu ada suplemen pertanyaan tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Targetnya adalah, mereka yang memiliki ketidaksempurnaan fisik dan/atau mental, tuna wisma, waria, psk, dan pengguna narkoba. Hari terakhir pelaksanaan pencacahan lapangan yang menjadi tugas saya. Tibalah saya di rumah besar, yang cukup membuat kesal. Karena penjaganya terus saja mengatakan tidak ada orang di rumah, dan menolak memberikan informasi apapun, bahkan untuk membuat janji dengan si pemilik rumah sekalipun. Ingin saja rasanya mengabaikan anggota rumah tangga ini dari penduduk Indonesia yang wajib saya datangi. Namun mau bilang apa? Di kunjungan ke empat, mungkin saya beruntung. Karena ketika penjaga rumah bilang, "Bapak tidak ada." Ada suara dari dalam yang bertanya "Siapa itu?" Dengan muka kesal saya menjawab, "Petugas Sensus, Pak." Akhirnya setelah menunggu 5 sampai 10 menit, Bapak itu mengizinkan saya masuk. Dan saya pun masih menatap penjaga rumah itu dengan kesal, karena telah membohongi saya. Sambil meminta maaf karena telah membuat saya menunggu, si Bapak meminta pelayannya untuk membuatkan saya minum. Lalu datanglah secangkir teh hangat dengan sepiring donat dari toko yang cukup terkenal. Tentu saja saya jawab, "Tidak usah repot-repot, Pak." Karena memang data yang dia berikan lebih berarti dari itu semua. Data terakhir yang harus saya dapatkan, untuk kemudian berlibur. Karena kegiatan SP2000 ini bersamaan dengan masa libur kuliah. Namun untuk menghilangkan rasa lelah dan ingin sekedar berteduh, di rumah ini betul-betul saya tanyakan semua item pertanyaan, yang sebetulnya tidak perlu saya tanyakan sekalipun (seperti jenis lantai, atap terluas, hehe... sebetulnya ini kan bisa dilihat). Dan tibalah pada pertanyaan PMKS. Jika sebelumnya si Bapak berkata bahwa pekerjaannya adalah Makelar Tanah, disini ia sepenuhnya mengakui bahwa ia adalah pengguna narkoba. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhannya itu pula, dia juga memperjualbelikan narkoba. Wah, tidak karuan rasanya mendapatkan info ini. Seringkali saya tidak habis pikir bagaimana seseorang bisa begitu jujur pada orang yang baru dikenalnya, yaitu saya. Namun ya, tugas saya hanya merekam semua jawaban. Dan saya melakukan itu. Hingga tiba di akhir pertanyaan, dan saya pun memutuskan untuk segera beranjak pergi. Tentu saja saya khawatir akan keselamatan diri saya. Karena dia juga mengatakan, alasan bahwa ia sulit ditemui bukan karena semata-mata ia sulit ditemui, tapi sedang berada dalam kondisi yang tidak mungkin ditemui. Sebagai tuan rumah yang baik, dia meminta saya untuk mencicipi makanan dan minuman di hadapan saya. "Diminum dulu, Mbak. Kuenya juga dimakan..." Namun saya hanya diam, tidak menjawab. Terus terang saya khawatir ada sesuatu di makanan atau minuman itu. Diluar dugaan, dia berkata, "Jangan khawatir, Mbak. Ini bagian dari rejeki saya yang halal..." Tak urung saya tersenyum. Dalam hati saya berkata, "Bisakah dipisahkan mana yang halal dan mana yang haram..." ** Cerita di atas hanya sebagian saja dari sekian banyak cerita unik tentang sensus dan survey. Pekerjaan yang menarik, sebetulnya. Membuat kita dapat berinteraksi dengan segala macam lapisan masyarakat. Seringkali terpikirkan oleh saya, "Sebaiknya anggota DPR itu magang dulu jadi petugas sensus. Biar lebih baik dalam menyerap aspirasi rakyat, karena memang melihat, mendengar dan merasakan langsung bagaimana di lapangannya."
5 Comments
Dear friends,
Mungkin sebagian dari teman-teman sudah mengetahui pekerjaan saya (yaiyalah, sekantor gitu lho). Untuk yang belum, saya ilustrasikan sedikit mengenai pekerjaan saya. Saya bekerja di sebuah lembaga pemerintah non departemen, berlabelkan BADAN PUSAT STATISTIK. Yang dilakukan lembaga ini adalah pengumpulan data, penyajian data, baik itu lewat survey dan sensus yang diadakan sendiri, atau pengumpulan dari instansi-instansi lain. Sebagai bagian dari keluarga BPS, tidak dapat dihindarkan bahwa data collection juga merupakan bagian dari pekerjaan saya. Mengunjungi responden, bisa perorangan, rumahtangga, perusahaan, tergantung dari jenis survey dan sensus yang sedang dijalankan. Memberi mereka pertanyaan, dan menjelaskan apa maksud dan tujuan dari kegiatan yang kami lakukan (responden berhak akan itu, sebagai pengganti 'waktu dan kesediaannya' menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan petugas sensus). Apa yang mau saya tulis disini adalah salah satu pengalaman survey sensus saya, yang sampai saat ini cukup membekas di hati. Mudah-mudahan juga dapat menjadi pengingat untuk saya ke depannya, bahwa hidup itu begitu berharga. Survey ini baru beberapa bulan lewat, masih di tahun 2009. Respondennya adalah perorangan, rumahtangganya dan rumahtangga pembanding. Salahsatu tujuannya adalah ingin melihat adakah perbedaan pola pengeluaran antara rumahtanga responden dan rumahtangga pembanding, selain itu apakah ada perlakuan tidak enak (diskriminasi) yang diterima responden dan keluarganya dari lingkungan sekitar. Memangnya siapa respondennya? Respondennya adalah teman-teman yang selama ini keberadaannya hanya saya ketahui melalui berita di media massa, jurnal-jurnal kesehatan,atau film, baik di televisi maupun layar lebar. Akhirnya, saya berkesempatan juga bertemu langsung dengan mereka dan melihat kehidupannya sehari-hari. (oh ya, sebagai petugas sensus, jika surveynya adalah mengenai kesejahteraan dimana ada pendekatan pengeluaran, kami diharuskan menanyai pengeluaran rumahtangga responden, dengan demikian sering terlintas di kepala saya bahwa seharusnya anggota dpr itu adalah para petugas sensus, karena mereka mengetahui kondisi masyarakat real sampai ke dapur-dapurnya, hehehe... atau, ya anggota dpr itu sekali-kali dilibatkanlah dalam kegiatan pencacahan lapangan, jangan bisanya cuma rapat dan tau teorinya aja). My new valuable friends, demikian saya akan mengatakannya, karena dari mereka saya mendapatkan pelajaran baru. Teman-teman saya yang merupakan responden dari survey ini diketahui menderita HIV+, suatu penyakit yang sampai sekarang secara medis belum ada obatnya. DAlam menjalankan survey ini, saya mendapatkan pendamping. Pendamping saya ini berasal dari salah satu organisasi peduli HIV/AIDS, dimana syarat untuk menjadi anggotanya adalah merupakan ODHA (orang dengan hiv/aids). Tentang penyakit ini, teman, saya bukanlah dokter yang dapat memberikan penjelasan secara tepat, silahkan teman mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang penyakit ini. Yang ingin saya ceritakan adalah pengalaman saya selama lebih kurang dua bulan mengamati dan berada bersama teman-teman baru saya ini. Berhubung survey/sensus bps itu bersifat rahasia, jadi saya tidak akan menyebutkan nama, nama tempat dan lokasi dimana saya melakukan pendataan. Maaf ya teman-teman, tapi teman-teman baru saya itu juga perlu privasi. =) I'm with HIV/AIDS Mungkin, jika Anda hidup sebatangkara di dunia ini, tak punya pekerjaan, dan tak perduli dengan status sosial Anda di mata masyarakat, tidak sulit untuk membuat pengakuan ini. Namun, bagi orang kebanyakan, dibutuhkan kesiapan mental untuk dapat mengakuinya. (menerima kenyataan menjadi ODHA saja sudah berat, apalagi 'membuka status' kita kepada orang lain). Salah satu peranan dari organisasi yang diikuti pendamping saya adalah memberikan layanan konsultasi. Lebih mudah mengatasi keadaan jika kita tahu kita tidak sendiri, dan ada yang mau perduli. Penting untuk ODHA mengetahui seperti apa HIV/AIDS itu, dimana ODHA bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, dan informasi-informasi terkait ODHA lainnya. Sekarang saya mengerti, mengapa organisasi teman saya itu menjadikan ODHA sebagai syarat anggotanya, siapa lagi yang mau betul-betul perduli terhadap ODHA selain ODHA itu sendiri? (Sebetulnya teman, ketika mendapat tugas untuk ikut serta dalam pendataan ini, saya takut. Saya takut bahwa responden saya, pendamping saya, dapat mengetahui rasa takut saya. Saya takut bahwa rasa takut saya tergambar dalam sikap tubuh saya tanpa saya sadari. Padahal, apa yang dapat menyebabkan seseorang terinfeksi HIV sudah saya ketahui melalui banyak referensi. Lalu saya bertanya, jika sudah tahu saja masih takut, bagaimana lagi jika tidak mengetahui apa-apa? Beruntung, suami saya mendukung dan banyak memberikan penjelasan kepada saya. Thanks, El...) "Apakah saya termasuk ODHA?" pernah ngga bertanya seperti itu? Ya, teman saya juga sulit menjawab ciri-ciri seperti apa sih yang memutuskan dia menjalani serangkaian pemeriksaan untuk mengetahui status HIV nya. Teman saya bilang, kadang ciri-ciri itu terlihat jelas, tapi ada juga kasus dimana tidak ditemukan sama sekali ciri itu. Namun, jawab saja pertanyaan ini... Apakah pernah melakukan hubungan seksual beresiko? (hubungan seksual sesama jenis, hubungan seksual dengan pekerja seksual, termasuk juga hubungan seksual tanpa pengaman dengan orang yang tidak diketahui riwayat seksualnya --> bisa jadi pasangan kita sendiri lho...) Apakah pernah menggunakan narkoba suntik? Apakah pernah menerima transfusi darah? Apakah pernah mengalami infeksi menular seksual berulang? Apakah pernah sakit berturut-turut dalam waktu yang lama (3 bulan atau lebih?) Apakah mengalami penurunan berat badan secara drastis (lebih dari 10%)? Apakah ada jamur di mulut atau tenggorokan? kalau ada satu saja yang iya, siapkah teman mengikuti VCT (Voluntary Counseling and Testing -- ilustrasinya adalah melakukan test status HIV atas kesadaran sendiri, dimana dalam melakukannya teman-teman mendapatkan dampingan dari konselor, dimana peran konselor adalah memberikan informasi seputar hiv/aids, membantu teman dalam melaksanakan test, dan juga mendamping teman-teman saat mendapatkan hasil test, apapun hasilnya (positif atau negatif) -- lebih rincinya teman-teman dapat mengunjungi klinkik-klinik yang menyadiakan layanan VCT, beberapa puskesmas rujukan juga sudah ada kok) Nah nah nah... diawal cerita saya sudah bilang kan teman, tidak mudah menerima kenyataan menjadi ODHA. Ingin menyalahkan keadaan, tidak bisa menerima keadaan, makanya menurut saya, peranan konselor menjadi penting untuk melewati tahap-tahap ini. Bukan suatu keharusan untuk membuka 'status hiv' kita kepada siapapun juga. Namun, adalah suatu kewajiban agar menghentikan status ODHA sampai di diri kita sendiri. Setidaknya, mengetahui status ODHA membuat teman-teman mempunyai tanggungjawab baru, menjaga agar pasangan kita, keturunan kita nantinya, terbebas dari HIV. Begitulah misi dari organisasi yang teman saya ikuti itu... Bagaimana ini bisa terjadi? Teman, sampai saat ini, resiko infeksi HIV diketahui berasal dari beberapa kelompok resiko. Lewat cairan sperma dan cairan vagina, melalui hubungan seks penetratif (penis masuk kedalam Vagina/Anus), tanpa menggunakan kondom, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina), atau tercampurnya cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat anus. Hubungan seksual secara anal (lewat dubur) paling berisiko menularkan HIV, karena epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka dibandingkan epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih mudah masuk ke aliran darah. Dalam berhubungan seks vaginal, perempuan lebih besar risikonya daripada pria karena selaput lendir vagina cukup rapuh. Disamping itu karena cairan sperma akan menetap cukup lama di dalam vagina, kesempatan HIV masuk ke aliran darah menjadi lebih tinggi. HIV di cairan vagina atau darah tersebut, juga dapat masuk ke aliran darah melalui saluran kencing pasangannya. Jarum suntik/jarum tattoo, jika jarum suntik yang sudah tercemar HIV dipakai bergantian tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna Narkotika Suntikan. Atau ada juka kasus melalui pemakaian jarum suntik yang berulangkali dalam kegiatan lain, misalnya : peyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit, misalnya alat tindik, tato, dan alat facial wajah Penerima transfusi darah, yang menerima produk darah yg sudah tercemar HIV Mother-to child-transmission, penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan secara normal (lewat vagina), kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Terpapar tidak sengaja, maksudnya terjadi pertukaran cairan tubuh dengan ODHA secara tidak sengaja, ekstrimnya sih kata teman saya, ada kasus dimana anggota re***** terpapar HIV karena dalam melakukan penyelidikan kasus, terutama terhadap pengguna narkoba, suka melakukan kekerasan fisik. Padahal, kekerasan fisik itu selain membuat luka di tubuh ODHA, juga meninggalkan luka di lengan re***** tadi, sehingga memungkinkan terjadinya kontak darah dengan ODHA. Akhirnya, anggota re***** tadi jadi terpapar hiv juga... (mungkin pertanyaan di -I'm with HIV/AIDS- harus saya tambah satu, Apakah saya merupakan anggota/istri dari anggota re***** yang suka menggunakan kekerasan fisik?) Yang mendapat perhatian saya teman, adalah point 1 dan 4 di atas. Mengapa? Karena, teman-teman saya yang terpapar karena pasangannya sebagian besar tidak mengetahui status HIV pasangannya. Alasan utamanya bukan karena pasangannya yang merahasiakan, tapi karena sama-sama tidak mengetahui. Dan tidak menyadari, bahwa kegiatan beresiko yang pernah dilakukannya meninggalkan HIV di dalam tubuhnya. Untuk point ke 4 di atas, teman... Ada satu kisah, dimana saya tidak mampu menahan haru. Walau tetap berusaha sembunyikan. Salah satu responden saya merupakan keluarga ODHA. Ibu, bapak dan seorang anak kecil berusia empat tahunan, sama dengan anak saya yang bungsu. Walau tidak ada dalam kuisioner, saya menanyakan pada orangtuanya, hal apa yang mendasari mereka memeriksakan status HIV anaknya... Setelah sakit yang berkepanjangan, batuk-batuk tak henti, si ayah memeriksakan diri untuk mengetahui apa penyakitnya. Dalam pemeriksaan, setelah mengetahui riwayat si ayah yang mantan pengguna narkoba suntik (padahal kegiatan itu sudah dia hentikan sepuluh tahun yang lalu, jauh sebelum ia menikah), dokter menyarankan test hiv. Hasilnya pun positif. Si ayah menolak menerima kenyataan dan berharap telah terjadi kesalahan pada waktu test. Lalu ia mendatangi rumah sakit lainnya untuk menjalani test yang sama. Hasilnya? Tetap positif... Akhirnya, dia memutuskan untuk bercerita kepada istrinya tentang statusnya, dan memeriksa kesediaan istrinya untuk memeriksakan dii juga. Demikian juga dengan buah hati mereka. Sekarang mereka harus menerima kenyataan bahwa keluarganya adalah keluarga ODHA (si kecil, sejak lahir sudah sakit-sakitan, menurut orang tua dahulu, mungkin keberatan nama, hingga akhirnya si kecil sudah 3 kali ganti nama). Namun, tidak ada satupun keluarga mereka yang mengetahui keadaan ini. (yang sangat saya mengerti alasannya setelah saya mengunjungi rumahtangga pendampingnya sebagai kontrol). Prosedur dari survey ini adalah saya harus mendatangi rumahtangga pendamping sebagai kontrol, yang merupakan tetangga dari responden saya ini, tanpa membuka status responden saya sama sekali. Dengan kata lain, saya tetap berkewajiban merahasiakan status keluarga tadi. Awalnya, si ibu menolak, ketakutan. Butuh waktu untuk meyakinkannya bahwa saya berjanji akan merahasiakan statusnya. Hingga akhirnya dia mengantarkan saya kepada salah satu tentangganya... Setelah pertanyaan-pertanyaan dasar, masuklah kepada pertanyaan yang intinya ingin mengetahui ada/tidaknya diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS. Dimulai dari pengetahuan rumahtangga terhadap penyakit menular seperti HIV/AIDS, apa yang mereka ketahui, darimana memperoleh informasi. Lalu pertanyaan berikutnya adalah, "pernahkah bertemu dengan ODHA?" yang dijawab "iya..". Dengan rasa deg-degan tak karuan, saya takut secara tidak sengaja saya membuka status keluarga tadi, saya bertanya "di mana?" padahal pertanyaannya tidak ada di kuisioner... "Di kampung ini mbak, tapi sekarang orangnya udah ngga ada, sudah kita usir..." Saya sedikit bernafas lega, bukan respondenku berarti... Saya lanjutkan bertanya "Memangnya mbak tahu dari mana orang itu kena HIV?", ya, kadang untuk menggali informasi, walaupun pertanyaan tidak ada di kuisioner ditanyakan juga. "Gini mbak... kan anak itu pacaran sama anak kampung sini. Eh masa, pas lagi pacaran, ceweknya dipegang, trus si ceweknya kejang-kejang, dibawa ke rumahsakit, terus meninggal deh... ya udah, kita usir aja itu anak dan keluarganya..." Di dalam hati ingin deh bilang "Mbak ini, jangan-jangan kalo kejang-kejang ceweknya itu kena epilepsi..." dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga yang terusir tadi, juga bisa mengerti ketakutan keluarga tadi seandainya tetangga mengetahui statusnya... Lalu, dengan pengetahuan seadanya, saya sampaikan pada rumahtangga ini, bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui makan dan minum bersama, atau pemakaian alat makan minum bersama, pemakaian fasilitas umum bersama, seperti telepon umum, WC umum, dan kolam renang, ciuman, senggolan, pelukan dan kegiatan sehari-hari lainnya atau lewat keringat, dan gigitan nyamuk. Maksudnya, biar tidak salah informasi lagi... I want to live longer... Menjadi ODHA bukanlah suatu pernyataan bahwa 'Kamu akan mati besok'. HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia terkena pilek biasa. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembangbiakan virus hiv dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV. Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang mematikan. Seseorang dapat menjadi HIV positif. Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS. Ada satu therapy, yaitu antiretroviral therapy/terapi ARV. Meski tidak bisa menyembuhkan, terapi ARV bisa memperpanjang hidup pengidap HIV positif dan membuat mereka hidup lebih produktif. Terapi ini mampu mengurangi jumlah virus HIV dalam darah dan meningkatkan jumlah sel CD4 positif (jumlah limfosit yang melindungi tubuh dari infeksi). Obat-obatan ARV digunakan dalam terapi untuk infeksi HIV. Obat-obatan ini melawan infeksi dengan memperlambat replikasi virus HIV dalam tubuh. Ini berarti menghambat penyebaran virus dengan mengganggu proses reproduksi virus. Dalam sel yang terinfeksi, virus memperbanyak diri sehingga bisa menginfeksi sel-sel lain yang masih sehat. Makin banyak sel terinfeksi, kekebalan tubuh kian turun. Untuk mereplikasi diri, HIV butuh enzim reverse transcriptase. Obat-obatan ARV memperlambat kerja enzim itu dan mengacaukan replikasi virus dengan mengikat enzim tersebut untuk menghentikan produksi virus baru. Obat-obatan itu juga menghambat protease-enzim pencernaan pemecah protein dan enzim dalam sel terinfeksi. Mengkonsumsi ARV membutuhkan tingkat kedisiplinan yang tinggi. Bagaimana tidak, obatnya harus diminum 12jam sekali, tidak boleh terlambat. Beberapa teman memasang alarm di handphone nya untuk mengingatkan jadwal minum obat ARV nya. Bagi saya, menghabiskan antibiotik saja sudah siksaan, padahal, itu hanya sepuluh butir obat, yang harus dihabiskan dalam waktu kurang lebih 3 hari. Teman-teman saya itu harus melakukan itu setiap hari tanpa henti, seumur hidupnya. Sekarang saya belajar bahwa menjadi sehat itu mahal dan menjadi lebih perduli terhadap kesehatan diri... Serangkaian usaha yang panjang yang harus teman-teman saya lakukan itu hanya untuk satu keinginan, hidup lebih lama. Doa saya, juga doa teman-teman saya itu, semoga pemerintah dapat terus mensubsidi obat ARV, karena untuk bertahan hidup saja sudah susah, apalagi kalau harus membeli obat-obatan yang harus dikonsumsi seumur hidup, dengan harga yang tidak murah. Souvenir for me... Di salah satu klinik VCT, saya mendapatkan sebuah souvenir. Souvenir yang berawal dari pertanyaan saya yang mungkin terdengar iseng... dan tidak disetujui. Ya, karena alasan privasi tadi itulah. Saya ingin mengetahui bagaimana proses test hiv itu dilakukan. Ceritanya sih, darah klien (orang yang akan diuji) diambil, ga banyak kok, hanya beberapa cc. Lalu, terhadap sample darah tersebut dilakukan uji, apakah terdapat antibodi yang merpakan indikasi hiv di dalam tubuh. Ketika tubuh kita diserang virus, pastinya membentuk suatu antibodi yang merupakan mekanisme pertahanan diri terhadap virus/benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Antibodi ini lah yang diuji. Namun permintaan saya ditolak, mungkin karena terdengar iseng kali ya? Namun, sebagai gantinya, saya diberikan suatu alat, namanya Ora-Quick, yang juga dapat digunakan untuk test HIV. Tentang alat ini, saya sudah mendengar dari teman saya di organisasi sebelumnya. Namun, katanya, menjadi tidak populer karena ada kekhawatiran kesalahan persepsi, bahwa air liur juga bisa menularkan HIV. Padahal, yang dicek ya antibodinya tadi. Teman saya memberikan contoh yang ekstrim lagi (sama ekstrimnya kaya anggota re***** tadi), kalo tubuh saya disayat-sayat sehingga ada luka dimana-mana, lalu disiram dengan satu galon air liurnya Odha, baru saya mungkin terinfeksi HIV, itupun masih mungkin lho... Lagipula, karena alatnya berupa test pack yang dapat digunakan sendiri, teman saya itu tidak menganjurkan untuk menggunakan, "Lebih baik didampingi," katanya "Kalo hasilnya 'memuaskan'", positif maksudnya, "ada teman yang bisa diajak konsultasi..." Cara kerja alat ini kurang lebih seperti alat tes kehamilan yang biasa saya gunakan. Saya harus mengambil sejumlah air liur, dari langit-langit mulut saya, pokoknya dari sekeliling mulut saya deh. Lalu, terhadap alat yang sudah ada air liur saya itu, diberikan cairan. Dan, seperti juga orang yang sedang menunggu hasil tes kehamilan, silahkan berharap-harap cemas apakah garisnya akan berhenti di satu garis (artinya negatif) atau masih ada garis kedua (artinya positif). Begitu kira-kira cara kerjanya.... Permasalahannya... Apakah saya berani menggunakannya? Hehehe... Semua yang mendengar cerita saya ini selalu bertanya seperti ini, "Emang elu ngapain, Fa? Sampe penasaran pengen test segala..." Yah, dua bulan lebih saya menjadi teman curhat, dengan latar belakang kasus yang berbeda-beda. My valuable friends, yang saya ceritakan tadi, ternyata datang dari berbagai kalangan, yang tidak dalam dugaan saya sama sekali. (Jika seorang PSK terkena HIV, mungkin orang tidak akan heran. Tapi jika seorang guru TK terkena HIV? Orang akan bertanya, masa lalu guru TK tersebut. Sejuta klaim buruk mungkin diarahkan padanya, padahal, yang ia lakukan hanya mencintai suaminya. Yang tidak diketahuinya sama sekali, bahwa suaminya adalah ODHA.) Akibatnya, kekhawatiran saya semakin tinggi. Khawatir terhadap diri saya sendiri, khawatir terhadap pasangan, khawatir terhadap lingkungan, ah, serba khawatir deh pokoknya. Butuh waktu berminggu-minggu untuk saya hanya sekedar memutuskan apakah akan menggunakan alat itu atau tidak. (benar kata teman saya itu, tidak baik melakukannya sendirian, bisa-bisa, kecewa dengan keadaan, terus jadi melakukan tindakan-tindakan diluar kewajaran). Lalu, yang saya lakukan adalah konsultasi dengan suami. Yang dijawab dengan senyum-senyum, "Ya udah... biar ilang penasarannya, dicoba aja... Kalo ngga dicobain juga, pasti khawatirnya ga ilang-ilang..." Lagi-lagi saya bertanya, "Terus, kalo positif, gimana, Yah?". Karena terus terang, positif akan menghasilkan pertanyaan baru. . . "I'm here with you, kalo ibu positif ya nanti ayah test juga..." (yang belakangnya ga didengerin tuh, I'm here with you-nya itu yang penting... hehehe...) So, akhirnya, karena mendekati batas kadaluwarsa dari alatnya juga... saya coba juga alatnya... Sambil nunggu, mondar-mandir gelisah ga karuan, lebih heboh dari waktu nunggu hasil test pack waktu mau hamil anak kedua... Hasilnya? Alhamdulillah, negatif... Besoknya, ketika bertemu teman saya yang dari organisasi itu, saya sampaikan "Mas, udah dipake alatnya... Alhamdulillah, negatif..." Kata teman saya itu "Alhamdulillah... eh, jangan-jangan lagi dalam masa window period?" katanya menggoda saya... tapi kali ini saya jawab dengan yakin "Hehe... Insyaallah ngga deh..." buat teman-teman yang baru akan menikah, berdasarkan pengalaman saya dalam survey ini, saya menyarankan untuk melakukan medical check up terlebih dahulu bersama pasangan, terutama mengenai penyakit menular yang berpotensi untuk diwariskan terhadap keturunan kita, menyesal kemudian tidak ada gunanya... --> bayar utang cerita ama temen-temen warstat --> surabaya, 18 0ktober 2009 Sepanjang hidup saya, sekolah, kuliah, kerja, saya gak bisa bebas dari seragam... dah nasib kali ya... tapi, belum pernah saya semalu kemarin dengan seragam ini... Ceritanya gini...
Saya sedang di loket sudin kependudukan dan catatan sipil (masih ngurusin ktp dari bulan apaan tau... Soal ktp itu, akhirnya saya ngadu ke camatnya bahwa setelah dengan susah payah saya ngumpulin semua berkas pun saya masih diminta 50rb per ktp. setelah si ibu yang minta duit dipanggil camat, dia berkelit bahwa 50rb itu untuk ongkos bajaj, dia bolakbalik ke kantor walikota untuk bikin nota keterlambatan --yg biayanya 10rb saja, padahal ngapain dia repot2 ke kantor walikota, lha wong saya kerja di situ). Sambil merapikan berkas2, di sebelah saya ada bapak2 yang mau bikin akte kelahiran anaknya. Setelah mengisi formulir, bapak itu ditanya oleh penjaga loket. PENJAGA LOKET(PL): Bapak, saksinya mana? Bapak2 (B2): Saksi apa? PL: Begini Pak, mengurus akte kelahiran harus didampingi dua orang saksi... Saya yang kebetulan mendengar hal ini, menawarkan diri untuk jadi saksi sama si bapak. Kasian kan kalo dia harus balik lagi ke rumah... PL: Eh, gak bisa begitu... enak aja maen comot saksi sembarangan. Harus orang daerah situ yang tau kelahirannya... Saya hanya mengangkat bahu. Dan meneruskan kembali memeriksa kelengkapan berkas saya... PL: Tapi kalo bapak gak mau repot, kita bisa nyediain saksi disini. Tapi nanti bapak ngasih transport ya... Ya sekitar 15-20 ribu lah... Saya hanya tersenyum. Sepertinya ludah si PL belom kering ketika baru saja menghardik saya, tentang tidak bisa pakai sembarangan saksi. Si bapak memandang heran kepada saya, mungkin ingin bertanya, kalo sama saya bayar berapa? Sayang dia gak nanya, karena kalau iya, saya pengen jawab: Saya bersedia jadi saksi, GRATIS... Kemudian saya bersyukur, tidak ada satupun anak saya yang lahir di Kota Jakarta ini... Lalu saya bingung, apa bedanya saya, yang menawarkan jadi saksi, dengan saksi yang dicarikan PL tadi? |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|